Rabu, 24 November 2010

SEJARAH PERJUANGAN SULTAN IBRAHIM CHALILUDDIN RAJA PASIR (SADURANGAS) – KALIMANTAN TIMUR 1899-1912





Pr. Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliludin bin Pr. Adjie Bachtiar Chaliludin bin Pr. Adjie Achmad Mulia Chaliludin bin Pr. Adjie Abdulwahid Chaliludin bin Sultan Ibrahim Chaliludin

Perjuangan rakyat Indonesia dalam revolusi fisik 1945-1949 membela proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang bergelora di seluruh wilayah nusantara sehingga negara kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini masih kokoh dan tegak berdiri tidak terlepas dari rentetan perjuangan rakyat Indonesia yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia yang terjadi sebelum lahirnya negara ini (Indonesia).

Salah satu perjuangan rakyat Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Pasir Tanah Grogot (Kalimantan Timur) adalah perjuangan atau peperangan terhebat yang terjadi pada tahun 1915-1916. Hanya kurang dari satu abad yang lalu peristiwanya terjadi, akan tetapi hal ini cukup membuktikan bahwa di mana-mana penjajahan Belanda itu selalu ditentang oleh bangsa Indonesia yang mencintai kemerdekaannya.

Seorang tokoh yang bernama Sultan Ibrahim Chaliludin (Adjie Medje), seorang raja dari kerajaan Pasir (dahulu bernama Sadurangas, Kalimantan Timur) mempunyai hubungan erat riwayat hidupnya dengan peristiwa tersebut. Meskipun kejadiannya ini jauh sebelum terjadinya revolusi fisik (1945-1949) namun demikian, mereka itu (salah satunya adalah Sultan Ibrahim Chaliludin) telah meletakan dasar bagi perjuangan kita belakangan, yang kini telah memiliki negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.

Bagi setiap orang yang mengetahui informasi yang berkaitan dengan kisah perjuangan Sultan Ibrahim Chaliludin dapat memberikan informasinya yang akurat pada kami, yaitu :

Sejarah Mandau Dayak


Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu untuk di potong.

Biasanya orang awam akan sering kebingungan antara mandau dan ambang. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa, seperti besu per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau batang besi lain.



Mandau atau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau harus disimpan dan dirawat dengan baik ditempat khusus untuk penghormatan. Karena suku Dayak yakin bahwa mandau memiliki kekuatan spiritual yang mampu melindungi pemiliknya dari serangan atau niat jahat dari lawan-lawannya. Dan mandau juga diyakini dijaga oleh seorang perempuan, dan jika pemilik mandau tersebut bermimpi bertemu dengan perempuan yang menghuni mandau, berarti sang pemilik akan mendapatkan rejeki.

Mandau selain dibuat dari besi batuan gunung lalu diukir, pulang atau hulu mandau (tempat untuk memegang) dibuat berukiran dengan menggunakan tanduk kerbau untuk yang pulang-nya berwarna hitam. Dan menggunakan tanduk rusa untuk pulang yang berwarna putih. Pembuatan pulang dapat juga menggunakan kayu kayamihing. Pada bagian ujung dari pulang diberi atau ditaruh bulu binatang atau rambut manusia. Untuk dapat melengkatkan sebuah mandau dengan pulang dapat menggunakan getah kayu sambun yang terbukti sangat kuat kerekatannya.Setelah itu kemudian diikat lagi dengan jangang, namun jika jangang sulit ditemukan dapat menggunakan uei (anyaman rotan).

Besi mantikei yang digunakan untuk bahan baku pembuatan mandau dapat ditemukan didaerah Kerang Gambir, sungai Karo Jangkang, sungai Mantikei anak sungai Samba simpangan sungai Katingan, dan desa Tumbang Atei.

Tidak lengkap kiranya jika mandau tidak memiliki kumpang. Kumpang ialah sebutan sarung untuk mandau, kumpang mandau merupakan tampat masuknya mata mandau biasanya dilapisi tanduk rusa. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan).

Pada bagian depan kumpang dibuat sebuah sarung kecil tempat menyimpan langgei puai. Langgei puai adalah sejenis pisau kecil sebagai pelengkap mandau. Tangkainya panjang sekitar 20 cm dari mata anggei, bentuknya lebih kecil dari pada tangkainya. Fungsi dari langgei puai adalah untuk menghaluskan atau membersihkan benda-benda, contohnya rotan. Sarung atau kumpang langgei selalu melekat pada kumpang mandau. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara mandau dan langgei puai adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.




Desain by Fahrul RozyT

Pampang, Desa Budaya Dayak Kaltim


Jika ke Kalimantan Timur khususnya Samarinda, sebaiknya mengunjungi tempat yang satu ini, Desa Pampang di Samarinda. Di desa ini kita dapat melihat kebudayaan salah satu suku Dayak yang dipertunjukkan khusus untuk wisawatan.

Di sana pengunjung dapat melihat pertunjukkan budaya suku Dayak dan tari-tarian kurang lebih sekitar 2 jam yang dilangsungkan di rumah adat. Di samping itu, juga dapat melihat secara langsung kehidupan masyarakat Dayak.

Setelah menonton pertunjukkan juga bisa berfoto dengan penari ataupun dengan orang Dayak yang berkuping panjang. Sekali foto, anda harus merogoh kocek sebesar Rp.25.000. Atau kalau mau menyewa pakaian adat untuk berfoto sendiri, hanya membayar Rp.15.000,-.

Setelah puas berfoto, kita dapat berkeliling di dalam rumah adat dan mencari souvenir yang anda dapat bawa pulang. Ada gantungan kunci dengan hiasan taring beruang, harimau dan babi hutan. Ada juga tenunan khas Dayak dan sebagainya.

Puas mengunjungi desa adat, sebaiknya mampir di Kebun Raya Samarinda, sebelum balik ke Samarinda. Di sana, terdapat flora dan fauna khas Kaltim yang unik.

Dari Samarinda, jangan lupa mampir dulu ke museum Kutai Kertanagera, museum kayu yang berisi fosil-fosil kayu yang membatu, buaya besar pemangsa manusia yang sudah diawetkan.

Perjalanan juga lengkap di Tenggarong jika belum mengunjungi pulau Kumala. Pulau ini berasal dari delta sungai Mahakam dan terletak di tengah sungai Mahakam. Untuk ke Pulau Kumala dapat naik perahu kecil dengan biaya Rp.3000,-/orang/penyeberangan. Jangan takut walau perahu kecil, jacket penyelamatnya lengkap. Ticket masuk ke Pulau Kumala Rp. 2500,-/orang. Disini, kita dapat bersantai ria dengan keluarga dengan aneka permainan yang menarik, ada gokart, ada kereta gantung, ada tower dan sebagainya.

Untuk berkunjung kesana, harus melalui Balikpapan, sebagai kota transit sebelum menuju Samarinda (ibukota propinsi Kaltim).

Dari Balikpapan anda menuju ke Samarinda dengan beberapa pilihan, yaitu dengan bus (ongkos sekitar Rp.17.500 bis AC) atau dengan menyewa mobil pribadi sekitar Rp.250.000 – Rp.300.000 / hari, atau menyewa taxi pulang-pergi sekitar Rp.200.000,-.

Kalau naik bus dari Samarinda, perjalanan ke desa Pampang (ke arah Bontang) dilanjutkan dengan angkot atau ojek dengan biaya sekitar Rp.20.000,-.

Seluruh perjalanan wisata itu dapat dinikmati dalam satu hari saja kok.
Sayangnya, kegiatan budaya di desa Pampang hanya berlangsung hari Minggu dimulai sekitar jam 13.00 siang. Dan, tidak boleh terlambat sebab pertunjukkan budayanya hanya satu kali.

Saran saya, sebaiknya ke Tenggarong dulu pagi-pagi dan siangnya ke desa Pampang.
Bagaimana ? Ingin berwisata ke Samarinda ?

Penulis, Libra Wage Hutahaean
Sumber : KOMPAS

Cari Blog Ini